Seumur-umur, setiap ane ikut lomba gak pernah
menang. Dari zaman SMP, SMA, sempat membayangkan apa rasanya mendapat juara,
apa rasanya mendapat piala. Tapi harapan itu selama ini hanya angan-angan. Hingga
datang saatnya jatah kegagalan itu habis. Ya, akhirnya ane mendapat piala
pertama seumur hidup. Piala juara 3 lomba opini Jurnalika Fair 11 tingkat
kampus. Sederhana ya? Namun kemenangan sederhana ini menjadi sejarah pertama
bagi hidup ane. Lebay ya? Gak apa-apa, Cuma sedikit mencoba mengekspresikan
rasa bahagia, hehe. Sebelumnya memang gak pernah terpikir untuk dapat juara,
nggak. Bagi ane, lewat ajang inilah peluang ane untuk dapat menyampaikan kepada
khalayak umum tentang pemikiran ane. Soal menang atau kalah, yang penting
tulisan ane dibaca. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amal dakwah di
jalan-Nya, aamiin. Penasaran teks opininya apa? Let’s check it out! :D
Ada apa dengan Indonesia? Ia terlihat kaya
raya namun mengapa ia masih terpuruk? Dengan sumber daya alamnya yang melimpah
ruah dan posisinya yang strategis di bumi bagian khatulistiwa, menjadikannya
negeri yang dilirik oleh banyak tetangga asing. Ia bak seorang puteri seorang
raja yang diperebutkan oleh para pangeran kerajaan. Namun puteri itu tak
berdaya melakukan banyak hal karena terabaikan oleh tuan rumahnya.
Sekilas begitulah keadaan Indonesia hingga
kini. Dari sejak awal lahir hingga saat ini, kesejahteraan rakyat masih menjadi
topik utama untuk dibahas. 70 tahun merdeka, apakah masalah tersebut bisa
dituntaskan secara tuntas? Tentu
kesejahteraan rakyat bukanlah cita-cita utopis yang mustahil diperjuangkan.
Tuhan telah menganugerahkan kita kekayaan alam yang melimpah. Jikalau bangsa
ini mampu mengelolanya dengan tepat tentu kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan bukan lagi menjadi mimpi khayalan tingkat tinggi.
Salah satu kekayaan alam yang ada di
Indonesia adalah kelimpahan lahan gambut. Indonesia adalah pemilik kawasan
lahan gambut tropis terluas di dunia dengan luasan sekitar 21-22 juta hektar
atau setara dengan 1,6 kali luas pulau Jawa. Kebanyakan tersebar di Kalimantan,
Sumatera, dan Papua. Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting
karena menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak daripada hutan hujan tropis
biasa atau tanah yang bermineral. Peran penting hidrologis lahan gambut bagi
suatu wilayah bahkan dunia adalah sebagai cadangan air dengan kapasitas yang
sangat besar, sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim
kemarau tidak terjadi kekeringan.
Namun sayangnya dengan potensi alam tersebut
belum membuat rakyat sejahtera. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Mari kita
lirik kebakaran hutan yang menjadi event
musiman di Riau selama 18 tahun terakhir. Kabarnya tahun ini yang terparah
sepanjang sejarah kebakaran hutan di Riau (liputan6.com). Bagaimana bisa?
Bukankah semakin lama seharusnya semakin membaik? Paling tidak dari tahun ke
tahun terjadi pengurangan jumlah titik api. Namun nyatanya tidak.

(sumber: jikalahari.or.id)
Jika kita melihat data statistik di atas,
kita melihat pemerintah kurang seirus menangani bencana tersebut. Hal ini sudah
diungkapkan oleh Peneliti Senior Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi mengatakan
kebakaran hutan sulit diatasi lantaran pemerintah dahulu tak serius menangani
masalah pembalakan liar. Menurut dia, masalah pembakaran hutan sudah terjadi
sejak 1960-an (Liputan6.com 26/10/2015). Siapa yang menjadi korbannya? Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan sebanyak 66.234 jiwa
diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA), 1.076 jiwa
terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena penyakit mata
dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.
Dan lagi-lagi bukan rakyat yang diuntungkan
dari potensi alam ini. Lalu siapa dalang dari semua ini? Siapa yang
diuntungkan? Masyarakat setempat dibayar oleh sebuah perusahaan untuk melakukan
pembersihan lahan dengan melakukan pembakaran. Jika lahan yang berupa hutan, harga jualnya
masih sekita Rp8,6 juta per hektar. Namun lahan yang kosong dan siap
tanam biasanya lebih mahal harga jual tanahnya yaitu Rp11,2
juta per hektar (BBC
Indonesia, 25/9/2015). Lahan-lahan tersebut lalu dikonversi menjadi perkebunan
atau sawah oleh pihak swasta. Pengkonversian lahan inilah yang menyebabkan
lahan gambut semakin mengering sehingga menyebabkan hutan mudah terbakar di
musim kemarau ditamah dengan pembakaran yang disengaja.
Lalu apa upaya pemerintah menghadapi bencana ini? Upaya pencegahan
dilakukan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non
structural erupa Pusdalkarhutnas, serta brigade-brigade pemadam kebakaran hutan
di masing-masing HPH dan HTI, melakukan berbagai penyuluhan di lapisan
masyarakat sampai pengusaha. Pemberian sanksi bagi yang melakukan pembakaran
hutan, pencabutan ijin usaha bagi perusahaan yang melanggar, mengerahkan
pasukan TNI untuk pemadaman kebakaran, inovasi teknologi mutakhir yang salah
satunya adalah hujan buatan, dan sebagainya.
Kita patut menghargai upaya pemerintah hingga saat ini. Namun mengapa
sampai detik ini belum juga terselesaikan? Apabila pemerintah bisa lebih tegas
dalam menghadapi para perusak hutan terutama para korporasi raksasa itu tentu
masalah ini bukan lagi menjadi bencana musiman. Para korporasi tersebut telah
mengiming-imingi pejabat daerah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan
mereka (BBC Indonesia, 25/9/2015). Bahkan mereka enggan mengumumkan nama-nama
perusahaan yang terlibat dalam kasus ini (liputan6.com).
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah kita dalam hal ini.
Sistem pemerintahan lah yang membentuk atmosfer budaya kurang tegas dalam
negara kita. Aturan yang bisa diutak-atik, sistem otonomi daerah yang kurang
pengawasan, membuat semuanya bablas dari
kontrol. Ideologi yang menjadi dasar untuk membentuk sebuah sistem. Artinya
pemasalahan ini dan termasuk berbagai permasalahan pelik yang ada di Indonesia
sebenarnya hanya perlu satu langkah saja, yaitu memperbaiki ideologi yang
menjadi landasan.