Rabu, 30 Desember 2015

Prestasi untuk Memulai

Seumur-umur, setiap ane ikut lomba gak pernah menang. Dari zaman SMP, SMA, sempat membayangkan apa rasanya mendapat juara, apa rasanya mendapat piala. Tapi harapan itu selama ini hanya angan-angan. Hingga datang saatnya jatah kegagalan itu habis. Ya, akhirnya ane mendapat piala pertama seumur hidup. Piala juara 3 lomba opini Jurnalika Fair 11 tingkat kampus. Sederhana ya? Namun kemenangan sederhana ini menjadi sejarah pertama bagi hidup ane. Lebay ya? Gak apa-apa, Cuma sedikit mencoba mengekspresikan rasa bahagia, hehe. Sebelumnya memang gak pernah terpikir untuk dapat juara, nggak. Bagi ane, lewat ajang inilah peluang ane untuk dapat menyampaikan kepada khalayak umum tentang pemikiran ane. Soal menang atau kalah, yang penting tulisan ane dibaca. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amal dakwah di jalan-Nya, aamiin. Penasaran teks opininya apa? Let’s check it out! :D
Ada apa dengan Indonesia? Ia terlihat kaya raya namun mengapa ia masih terpuruk? Dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah dan posisinya yang strategis di bumi bagian khatulistiwa, menjadikannya negeri yang dilirik oleh banyak tetangga asing. Ia bak seorang puteri seorang raja yang diperebutkan oleh para pangeran kerajaan. Namun puteri itu tak berdaya melakukan banyak hal karena terabaikan oleh tuan rumahnya.
Sekilas begitulah keadaan Indonesia hingga kini. Dari sejak awal lahir hingga saat ini, kesejahteraan rakyat masih menjadi topik utama untuk dibahas. 70 tahun merdeka, apakah masalah tersebut bisa dituntaskan secara tuntas?  Tentu kesejahteraan rakyat bukanlah cita-cita utopis yang mustahil diperjuangkan. Tuhan telah menganugerahkan kita kekayaan alam yang melimpah. Jikalau bangsa ini mampu mengelolanya dengan tepat tentu kesejahteraan rakyat secara keseluruhan bukan lagi menjadi mimpi khayalan tingkat tinggi.
Salah satu kekayaan alam yang ada di Indonesia adalah kelimpahan lahan gambut. Indonesia adalah pemilik kawasan lahan gambut tropis terluas di dunia dengan luasan sekitar 21-22 juta hektar atau setara dengan 1,6 kali luas pulau Jawa. Kebanyakan tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak daripada hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral. Peran penting hidrologis lahan gambut bagi suatu wilayah bahkan dunia adalah sebagai cadangan air dengan kapasitas yang sangat besar, sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan.
Namun sayangnya dengan potensi alam tersebut belum membuat rakyat sejahtera. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Mari kita lirik kebakaran hutan yang menjadi event musiman di Riau selama 18 tahun terakhir. Kabarnya tahun ini yang terparah sepanjang sejarah kebakaran hutan di Riau (liputan6.com). Bagaimana bisa? Bukankah semakin lama seharusnya semakin membaik? Paling tidak dari tahun ke tahun terjadi pengurangan jumlah titik api. Namun nyatanya tidak.
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQL4zGc-UFyTzW0vhqEOLN-zjWyFSldl_XKYGeZBD4qMv0eMCZW
(sumber: jikalahari.or.id)
Jika kita melihat data statistik di atas, kita melihat pemerintah kurang seirus menangani bencana tersebut. Hal ini sudah diungkapkan oleh Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi mengatakan kebakaran hutan sulit diatasi lantaran pemerintah dahulu tak serius menangani masalah pembalakan liar. Menurut dia, masalah pembakaran hutan sudah terjadi sejak 1960-an (Liputan6.com 26/10/2015). Siapa yang menjadi korbannya? Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan sebanyak 66.234 jiwa diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA), 1.076 jiwa terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena penyakit mata dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.
Dan lagi-lagi bukan rakyat yang diuntungkan dari potensi alam ini. Lalu siapa dalang dari semua ini? Siapa yang diuntungkan? Masyarakat setempat dibayar oleh sebuah perusahaan untuk melakukan pembersihan lahan dengan melakukan pembakaran.  Jika lahan yang berupa hutan, harga jualnya masih sekita Rp8,6 juta per hektar. Namun lahan yang kosong dan siap tanam biasanya lebih mahal harga jual tanahnya yaitu Rp11,2  juta per hektar (BBC Indonesia, 25/9/2015). Lahan-lahan tersebut lalu dikonversi menjadi perkebunan atau sawah oleh pihak swasta. Pengkonversian lahan inilah yang menyebabkan lahan gambut semakin mengering sehingga menyebabkan hutan mudah terbakar di musim kemarau ditamah dengan pembakaran yang disengaja.
Lalu apa upaya pemerintah menghadapi bencana ini? Upaya pencegahan dilakukan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non structural erupa Pusdalkarhutnas, serta brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI, melakukan berbagai penyuluhan di lapisan masyarakat sampai pengusaha. Pemberian sanksi bagi yang melakukan pembakaran hutan, pencabutan ijin usaha bagi perusahaan yang melanggar, mengerahkan pasukan TNI untuk pemadaman kebakaran, inovasi teknologi mutakhir yang salah satunya adalah hujan buatan, dan sebagainya.
Kita patut menghargai upaya pemerintah hingga saat ini. Namun mengapa sampai detik ini belum juga terselesaikan? Apabila pemerintah bisa lebih tegas dalam menghadapi para perusak hutan terutama para korporasi raksasa itu tentu masalah ini bukan lagi menjadi bencana musiman. Para korporasi tersebut telah mengiming-imingi pejabat daerah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka (BBC Indonesia, 25/9/2015). Bahkan mereka enggan mengumumkan nama-nama perusahaan yang terlibat dalam kasus ini (liputan6.com).
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah kita dalam hal ini. Sistem pemerintahan lah yang membentuk atmosfer budaya kurang tegas dalam negara kita. Aturan yang bisa diutak-atik, sistem otonomi daerah yang kurang pengawasan, membuat semuanya bablas dari kontrol. Ideologi yang menjadi dasar untuk membentuk sebuah sistem. Artinya pemasalahan ini dan termasuk berbagai permasalahan pelik yang ada di Indonesia sebenarnya hanya perlu satu langkah saja, yaitu memperbaiki ideologi yang menjadi landasan. 

Senin, 13 Juli 2015

Awal Perjalanan Liburan

Setelah lelah berjuang dengan sederetan ujian akademik selama bulan Ramadhan, semua itu terlewatkan. Yap, tinggal menunggu hasil akhirnya. Dan ane beruntung banget liburan kali ini diawali dengan ditraktir nonton oleh Desty sahabat ane di XXI nya Margocity, Depok. Keberuntungan ini semakin lengkap dengan adanya meet and great dengan para pemain filmnya dan penulis novelnya. Yap, Surga yang Tak Dirindukan karya mba Asma Nadia yang difilmkan dengan pemain utamanya Fedi Nuril, Laudya Chintya Bella, dan Raline Shah (mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan nama *udah kaya nulis nama di undangan nikahan aja -_-). Kali ini ane ingin berbagi hikmah dan inspirasi dari film ini dari sudut pandang ane. :)


Surga yang Tak Dirindukan, film yang diangkat dari novel laris karya Asma Nadia yang menceritakan tentang sebuah keluarga yang harmonis (Prasetya dan Arini dengan anaknya Nadia) namun di pertengahan hubungan mereka sang suami menikahi wanita lain (Meirose) demi menyelamatkan nyawa wanita itu (berpoligami). Arini (diperankan oleh Bella) adalah seorang pecinta anak-anak dan sering menceritakan banyak dongeng dengan diselipkan ajaran agama dan kehidupan, dan Prasetya merupakan seorang arsitektur bersama kedua sahabatnya  . Rumah tangga yang dibangun Pras (panggilan untuk Prasetya) dan Arini begitu harmonis dan romantis (biasanya cewe-cewe bakal melting kalo liat keromantisan mereka, apalagi Pras diperankan oleh Fedi Nuril, hehe). Namun dipertengahan hubungan mereka, Pras menemui seorang wanita yang mengalami kecelakaan mobil lalu diselamatkan oleh Pras. Mengetahui bahwa wanita yang bernama Meirose (diperankan oleh Raline Shah) mengalami depsresi berat karena ditinggalkan oleh ayahnya, ibunya yang sering gonta-ganti pria yang pada akhirnya meninggal, lalu ditinggalkan sang kekasih yang sudah menghamilinya padahal sudah berjanji ingin menikahinya, ditambah lagi Meirose yang mencoba bunuh diri, akhirnya Pras menolong Meirose dan rela menanggung beban hidupnya dengan menikahinya tanpa sepengetahuan Arini. Pras tidak mau bayi dari Meirose mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Pras di masa lalu.


Lama Pras menyembunyikan pernikahan itu, hingga akhirnya Arini mengetahuinya dengan sendirinya. Hubungan mereka semakin tegang, Arini tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada orang ketiga dalam hubungan mereka walaupun itu alasannya demi kebaikan. Pras sempat bimbang namun ia sadar betul akan konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Namun pada akhirnya Arini menerima kenyataan itu dan mengikhlaskan hatinya untuk dimadu walaupun ada rasa sakit dari lubuk hatinya.


Apa yang dilakukan Pras merupakan sebuah kepahlawanan yang luar biasa, bukan sebuah "modus" yang sering dijadikan beberapa lelaki untuk memadu istrinya. Bagaimana tidak, Pras begitu sangat mencintai Arini dan ia sudah berjanji kepada ayah Arini untuk tidak menyakitinya. Namun ia tidak sanggup melihat ada wanita yang ditelantarkan dan hidup sebatang kara serta bayi yang terlahir tanpa ayah. Pras paham betul resiko dari apa yang dia putuskan untuk berpoligami, ia tidak bermaksud untuk menduakan istri tercintanya. Kenyataan ini memang akan sulit diterima bagi seorang wanita pada umumnya, namun disinilah Allah menguji hamba-Nya dengan berbagai pilihan sulit dalam hidup kita. Bagi istri, memilih untuk egois meninggalkan suami tanpa memikirkan psikologis anak, atau mengikhlaskan hati untuk menerima keputusan sang suami demi kebaikan orang lain. Dan bagi suami, memilih untuk menikahi seorang wanita untuk menyelamatkannya dengan resiko menyakiti istri yang dicintainya atau membiarkan wanita tersebut hidup sendirian sehingga rumah tangga sang suami terselamatkan.


Ane tidak menyalahkan atau memihak kepada salah satu dari keduanya. Yang jelas, keputusan untuk berpoligami bukanlah hal mudah, sekalipun seorang pria merasa dirinya akan berbuat adil. Hati seorang wanita sangatlah sensitif, ia memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap orang yang dicintainya. Ia tidak mau ada orang lain yang ada di hati orang yang dicintainya sekalipun hal itu untuk kebaikan. Tapi ane salut dengan wanita yang rela dipoligami, ia memiliki kesabaran dan kebijaksanaan yang tinggi. Poligami memang dibolehkan dalam Islam, namun sebaiknya seorang lelaki mempertimbangkan masak-masak sebelum melakukannya.


At all, cerita dari novel ini cukup menyentuh, realistis dan tidak terkesan memaksa walaupun novel ini tidak sepenuhnya diangkat dari kisah nyata. Ane salut dengan karya mba Asma Nadia yang satu ini, hehe jadi semakin tertarik untuk menyelam karya-karya beliau yang lain. :3

Jumat, 08 Mei 2015

Bercengkrama dengan Sang Penyejuk Hati

Barang kali ini adalah hal sepele. Selalu melaporkan kepada-Nya apa yang ingin kita lakukan dalam seharinya, bak anak kecil berceloteh kepada orang tua tentang kegiatan yang akan dan setelah kita lakukan. Coba bayangkan, bagaimana reaksi orang tuamu saat kau sering bercerita tentang kegiatan sehari-harimu? Aku yakin, mereka merasa dihargai walau kadang-kadang ekspresi itu tidak terlihat. Dengan tidak ada maksud menyamakan Tuhan dengan manusia, Allaah pun tentu akan semakin sayang kepada hamba-Nya apabila ia selalu meminta restu kepada-Nya dalam setiap aktivitasnya
.
Sebenarnya Allaah pun tanpa kita laporan pun Ia sudah pasti Maha Mengetahui segaalanya. Ia tidak butuh laporan kita, tidak butuh celotehan kita. Tapi dengan cara inilah kita menunjukkan betapa kita butuh bimbingan Sang Maha Kuat agar selalu menguatkan kita dalam setiap aktivitas kita, tegar menghadapi masalah dalam kegiatan kita, selalu berada dalam koridor yang dibolehkan Allaah kepada hamba-Nya, dan lain sebagainya. Kawan, kita adalah makhluk yang lemah, mudah putus asa, mudah bimbang, mudah lalai, yaa pokoknya kita ini bagaikan butiran debu yang tak ada kekuatan menghadapi kejamnya dunia ini aja. Dalam hal ini Allah sudah sebutkan dalam surat Al-Ashr yang artinya:

“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan menasehati untuk kesabaran.”
Kawan, dalam hidup ini kita seringkali menghadapi banyak masalah. Kita seringkali terlalu percaya diri bahwa kita mampu menyelesaikan masalah dengan kemampuan yang kita punya. Tapi sadarkah kamu? Ketika kau buntu tidak menemui jalan keluar kita seringkali frustasi, minta tolong kepada manusia tapi tak ada dari mereka yang mengerti dengan masalah kita, akhirnya kita putus asa dan seakan-akan hidup ini sudah tak ada artinya lagi. Ya memang akhir-akhir ini sering terjadi bunuh diri, ya karena mereka belum memiliki iman, tidak merasa bahwa mereka sebenarnya punya tempat bergantung yaitu kepada Allah, atau malah justru menyerah berharp kepada Allah. Wallaahu a’lam.

Kawan, ketahuilah bahwa Allaah tak serta merta memberikan apa yang kamu inginkan dengan cuma-cuma. Ketika kau berharap agar selalu ikhlas dalam mengerjakan aktivitas, maka Ia akan mengujimu dengan hal-hal yang membuat keikhlasanmu terganggu. Jika kau berhasil, maka kau pun berhasil meraih apa yang kau pinta. Ketika kau meminta agar diberi pasangan terbaik, maka Allah akan menutup kesempatan-kesempatan bagi pria “nakal” untuk menyentuhmu dan mempertemukanmu dengan jodohmu dengan cara yang elegan (baca: sesuai syariat Islam).


Begitulah cara Allaah menyayangi hamba-Nya. Ia takkan serta merta memberikan apa yang kita inginkan tanpa kita melewati sebuah rintangan. Ia ingin agar kita dipantaskan dahulu sebelum meraih apa yang kita harapkan. Maka yang terpenting disini adalah agar hati kita selalu bersih jauh dari prasangka buruk kepada-Nya. Cobalah untuk belajar mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kau alami, karena disitu terdapat pelajaran berharga yang akan  mendewasakanmu dan itu akan membuatmu selalu merasa bersyukur akan kebaikan-Nya. Ya contohnya begini, ketika kau terjebak macet saat menuju kampus, ternyata di laboratorium kampus terjadi ledakan yang menyebabkan banyak korban jiwa. Pada awalnya kau akan jengkel dengan kemacetan itu, namun pada akhirnya kau merasa bersyukur karena kau diselamatkan oleh Allaah melalui kemacetan.

Jumat, 27 Maret 2015

Benarkah Ganti Presiden adalah Solusi?

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim…
Malam ini dikejutkan dengan kabar yang mencekak pikiranku, harga BBM lagi-lagi naik setelah sempat turun. Tak ada siaran live di tv mengenai siding kenaikan harga, semua terjadi mendadak tepat pukul 00.00 WIB 28 Maret 2015. Ada apa ini? padahal baru saja teman-temanku yang aktivis turun aksi di depan istana Bogor mewakili almamater kampusku bersama para aktivis kampus yang lain. Apa yang ada di pikiran para penguasa? Tak takutkah mereka kejadian 1998 terulang lagi? Sungguh, ini menimbulkan beribu pertanyaan berkeliaran di kepalaku..
Akupun merenung, sejak lengsernya masa orde baru yang ditokohi oleh Soeharto sebagai rezim penguasa, artinya kita masuk dalam masa reformasi. Lalu pada masa reformasi, berganti tahun ke tahun, berganti presiden demi presiden, sepertinya tak ada perubahan yang lebih baik. Katanya Indonesia sudah merdeka hampir 70 tahun. Bayangkan, itu seusia kakek/nenek kita lho. Kupikir, setelah masa reformasi justru malah terjadi keselewengan yang kebablasan. Seharusnya Indonesia saat ini sudah cukup matang untuk mandiri, namun nyatanya sampai detik ini negara yang kaya sumber daya alam masih saja meringis kesakitan karena dipimpin oleh para penguasa boneka.
Kawan, kau tahulah maksud tulisan paragraf keduaku seperti apa. Kau juga bisa merasakan betapa banyak orang-orang miskin di sekitar kita sepanjang hidupnya hanya merasakan kesengsaraan hidup akibat ekonomi yang tak kunjung membaik. Sungguh, banyak ketidakadilan terjadi tepat di depan mata kita. Lihatlah para orang tua renta yang dituduh mencuri sandal, mencuri kakao, kayu jati, mereka dihukum penjara bertahun-tahun tanpa diberi keringanan. Sedangkan para koruptor yang jelas-jelas mencuri uang rakyat milyaran bahkan triliyunan masih bisa diberi remisi. Anak kecil pun tahu bahwa perbuatan itu tidaklah masuk akal. Lalu apa yang salah dengan Indonesia? Setiap ada pemilihan presiden baru, kita selalu menaruh harapan besar kepada calon presiden itu. Aku ingat betul bagaimana saat Pak Jkw terpilih sebagai presiden begitu antusiasnya masyarakat terutama rakyat wong cilik yang menjadi “korban” blusukannya Pak Jkw. Namun apa? Kekejaman yang sama terjadi lagi. Bahkan lebih mencekik lagi kebijakan Pak Jkw dibandingkan periode pemerintahan Pak SBY.
Lalu aku berpikir lagi. Jikalau seandainya Pak Jkw tercinta akhirnya menanggalkan jabatannya dengan sukarela ataupun terpaksa, siapa yang akan menggantikan beliau? Akankah keadaannya lebih membaik? Yang kutahu dan kurasakan, tak ada perubahan signifikan pada peningkatan segala lini kehidupan bangsa Indonesia setelah mengalami 7 kali pergantian rezim presiden. Masa reformasi nyatanya tidak memberikan hasil yang membaik. Kemudian timbul dalam benakku sebuah pertanyaan. Mungkinkah semua ini karena sistem pemerintahan yang saat ini kita anut? (baca: demokrasi) yang kutahu, system demokrasi merupakan system warisan dari penjajah kita terdahulu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita diatur oleh “orang asing” yang memiliki kepentingan di negeri ini. mereka menjejalkan kita dengan sistem yang saat ini kita sebut sebagai demokrasi. Lalu timbul sebuah pertanyaan. Mengapa tak kita coba gulingkan saja sistem demokrasi dengan sistem yang lebih baik? Nyatanya berganti presiden tak juga efektif meningkatkan kualitas bangsa Indonesia. Lalu apa kira-kira system yang terbukti mampu memperbaiki segala aspek kehidupan negara berdasarkan bukti sejarah? Kemudian teringat olehku sebuah system negara yang diusung oleh Rasulullah. Sebuah system negara yang mampu bertahan berabad – abad lamanya dan terbukti mampu memperbaiki segala aspek kehidupan masyarakat baik dari segi politik, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Ya, sistem Khilafah ‘ala minhaj An-nubuwwah. Mungkin bagi mayoritas masyarakat masih terdengar asing, atau bahkan identik dengan “teroris”. Miris memang, karena para “orang asing” ini tak mau Indonesia bangkit karena menggunakan sistem yang benar sehingga menciptakan opini yang negative tentang tegaknya khilfah khususnya melalui pemberitaan yang negatif tentang ISIS secara terus menerus dimana ISIS diidentikkan sebagai ikon khilafah yang menakutkan. Lalu seperti apa sistem khilafah yang sebenarnya? Seperti apa sejarahnya? Tunggu postinganku selanjutnya mengenai penjabarannya. ^_^


Minggu, 08 Februari 2015

Seorang Pemimpin yang Sesungguhnya

Surat Imam Hasan Al Basri kepada Khalifah 

            Syaikh Abdul Aziz Al Badri dalam kitabnya Al Islam bainal Ulama wal Hukkam menukil jawaban Imam Hasan Al Basri kepada pertanyaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Amirul Mukminin, tentang sifat-sifat imam yang adil.
            Beliau menjawab:
            “Sesungguhnya Allah menjadikan Imam yang adil itu untuk meluruskan yang bengkok, membimbing yang zalim, memperbaiki yang rusak, membela yang lemah, pelindung bagi yang teraniaya, menjadi perantara Allah dengan para hamba-Nya, mendengarkan firman Allah dan memperdengarkan-Nya, melihat Allah dan diperkenalkannya, tunduk kepada Allah dan membimbing hamba-hamba-Nya.
            Dia seumpama seorang budak yang dipercaya oleh tuannya untuk menjaga dan memelihara harta dan keluarganya. Dia tidak akan menghukum dengan hukum jahiliyah. Tidak mengikuti jalan orang yang zalim, tidak akan membiarkan orang yang zalim berbuat sewenang-wenang terhadap yang lemah, pemegang wasiat anak yatim dan amanat orang miskin, mendidik yang kecil dan mengawasi yang besar.”.
            Singkat jawaban ulama pewaris Nabi itu, tapi padat dan bernas. Beberapa pelajaran yang kita peroleh dari jawaban tersebut antara lain:
            Pertama, Imam atau kepala negara yang adil itu adalah orang yang mendapatkan amanat kekuasaan dari Allah, walau secara operasionalnya adalah dipilih rakyat, untuk meluruskan yang bengkok agar lurus kembali sesuai dengan syariat Allah SWT. Oleh karena itu, bila ada yang murtad atau menyimpang dari syariat, segera diminta bertaubat dan kalau mau ambil tindakan yang tegas, baik diberikan hukuman atau diperangi.
            Kedua, Imam itu mendapatkan amanat kekuasaan untuk menghilangkan kezaliman dan dengan kekuasaannya itu dia wajib melindungi kaum yang lemah yang biasanya menjadi korban kezaliman.
            Ketiga, Imam itu menjadi munafidzur risalah, eksekutif yang menjalankan hukum-hukum Allah. Oleh karena itu, dia harus mendengarkan firman Allah yang menjadi sumber hukum Allah dan memperdengarkan kepada masyarakat agar mereka tahu hukum-hukum Allah dan menegakkannya dengan memberikan peringatan dan sanksi kepada siapa saja yang melanggarnya. Imam menyelenggarakan pendidikan gratis kepada rakyat agar mereka tahu ilmu-ilmu syariat. Imam menanggung semua biayanya dengan memberikan gaji dan kompensasi kepada para alim ulama untuk menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Imam menjamin kesejahteraan mereka lahir batin sebelum menghukum mereka yang ingkar. Imam itu membimbing para hamba Allah agar tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT sebagai wujud ibadah kepada-Nya.
            Keempat, Imam laksana budak yang menjaga dan memelihara harta dan keluarga tuannya. Tentu saja budak itu akan menjalankan tugasnya sesuai dengan SOP (Standard Operational System) yang diberikan oleh tuannya. Oleh karena itu, Imam yang menerima amanat kekuasaan untuk mengurus rakyat muslim tidak akan menggunakan hukum jahiliyah, yakni hukum selain Islam. Sebab hal itu bukan SOP yang dititahkan Allah kepada para Imam. SOP dari Allah SWT adalah syariat Islam yang sempurna. Bukankah Allah SWT berfirman kepada para Imam atau kepala negara kaum muslimin sebagaimana Dia SWT berfirman kepada kepala negara pertama kaum muslimin, yakni baginda Rasulullah saw.:
            “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al Maidah 49)
            Juga Dia SWT berfirman:
            “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah 50)
            Sungguh, indah sekali jika penguasa hari ini bersikap seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang imam yang adil dan tawadlu, gemar bertanya kepada ulama. Dan sungguh indah sekali kehidupan ini, bila para ulama bersikap seperti Imam Hasan Al Bashri, pemimpin para ulama waratsatul anbiya, orang-orang yang lugas, yang menyampaikan amanat ilmu apa adanya, tanpa tedeng aling-aling. Para ulama yang tidak punya rasa takut kecuali hanya kepada Allah, para ulama yang melihat penguasa laksana melihat kucing. Wa Islama, wa ulama, wa imama!
Muhammad Al Khaththath

Sumber artikel:
Suara Islam edisi 44 tanggal 16 – 29 Mei 2008 M/10 – 23 Jumadil Awal 1429 H