Rabu, 30 Desember 2015

Prestasi untuk Memulai

Seumur-umur, setiap ane ikut lomba gak pernah menang. Dari zaman SMP, SMA, sempat membayangkan apa rasanya mendapat juara, apa rasanya mendapat piala. Tapi harapan itu selama ini hanya angan-angan. Hingga datang saatnya jatah kegagalan itu habis. Ya, akhirnya ane mendapat piala pertama seumur hidup. Piala juara 3 lomba opini Jurnalika Fair 11 tingkat kampus. Sederhana ya? Namun kemenangan sederhana ini menjadi sejarah pertama bagi hidup ane. Lebay ya? Gak apa-apa, Cuma sedikit mencoba mengekspresikan rasa bahagia, hehe. Sebelumnya memang gak pernah terpikir untuk dapat juara, nggak. Bagi ane, lewat ajang inilah peluang ane untuk dapat menyampaikan kepada khalayak umum tentang pemikiran ane. Soal menang atau kalah, yang penting tulisan ane dibaca. Mudah-mudahan Allah mencatatnya sebagai amal dakwah di jalan-Nya, aamiin. Penasaran teks opininya apa? Let’s check it out! :D
Ada apa dengan Indonesia? Ia terlihat kaya raya namun mengapa ia masih terpuruk? Dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah dan posisinya yang strategis di bumi bagian khatulistiwa, menjadikannya negeri yang dilirik oleh banyak tetangga asing. Ia bak seorang puteri seorang raja yang diperebutkan oleh para pangeran kerajaan. Namun puteri itu tak berdaya melakukan banyak hal karena terabaikan oleh tuan rumahnya.
Sekilas begitulah keadaan Indonesia hingga kini. Dari sejak awal lahir hingga saat ini, kesejahteraan rakyat masih menjadi topik utama untuk dibahas. 70 tahun merdeka, apakah masalah tersebut bisa dituntaskan secara tuntas?  Tentu kesejahteraan rakyat bukanlah cita-cita utopis yang mustahil diperjuangkan. Tuhan telah menganugerahkan kita kekayaan alam yang melimpah. Jikalau bangsa ini mampu mengelolanya dengan tepat tentu kesejahteraan rakyat secara keseluruhan bukan lagi menjadi mimpi khayalan tingkat tinggi.
Salah satu kekayaan alam yang ada di Indonesia adalah kelimpahan lahan gambut. Indonesia adalah pemilik kawasan lahan gambut tropis terluas di dunia dengan luasan sekitar 21-22 juta hektar atau setara dengan 1,6 kali luas pulau Jawa. Kebanyakan tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak daripada hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral. Peran penting hidrologis lahan gambut bagi suatu wilayah bahkan dunia adalah sebagai cadangan air dengan kapasitas yang sangat besar, sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan.
Namun sayangnya dengan potensi alam tersebut belum membuat rakyat sejahtera. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar. Mari kita lirik kebakaran hutan yang menjadi event musiman di Riau selama 18 tahun terakhir. Kabarnya tahun ini yang terparah sepanjang sejarah kebakaran hutan di Riau (liputan6.com). Bagaimana bisa? Bukankah semakin lama seharusnya semakin membaik? Paling tidak dari tahun ke tahun terjadi pengurangan jumlah titik api. Namun nyatanya tidak.
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQL4zGc-UFyTzW0vhqEOLN-zjWyFSldl_XKYGeZBD4qMv0eMCZW
(sumber: jikalahari.or.id)
Jika kita melihat data statistik di atas, kita melihat pemerintah kurang seirus menangani bencana tersebut. Hal ini sudah diungkapkan oleh Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi mengatakan kebakaran hutan sulit diatasi lantaran pemerintah dahulu tak serius menangani masalah pembalakan liar. Menurut dia, masalah pembakaran hutan sudah terjadi sejak 1960-an (Liputan6.com 26/10/2015). Siapa yang menjadi korbannya? Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan sebanyak 66.234 jiwa diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA), 1.076 jiwa terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena penyakit mata dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit.
Dan lagi-lagi bukan rakyat yang diuntungkan dari potensi alam ini. Lalu siapa dalang dari semua ini? Siapa yang diuntungkan? Masyarakat setempat dibayar oleh sebuah perusahaan untuk melakukan pembersihan lahan dengan melakukan pembakaran.  Jika lahan yang berupa hutan, harga jualnya masih sekita Rp8,6 juta per hektar. Namun lahan yang kosong dan siap tanam biasanya lebih mahal harga jual tanahnya yaitu Rp11,2  juta per hektar (BBC Indonesia, 25/9/2015). Lahan-lahan tersebut lalu dikonversi menjadi perkebunan atau sawah oleh pihak swasta. Pengkonversian lahan inilah yang menyebabkan lahan gambut semakin mengering sehingga menyebabkan hutan mudah terbakar di musim kemarau ditamah dengan pembakaran yang disengaja.
Lalu apa upaya pemerintah menghadapi bencana ini? Upaya pencegahan dilakukan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non structural erupa Pusdalkarhutnas, serta brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI, melakukan berbagai penyuluhan di lapisan masyarakat sampai pengusaha. Pemberian sanksi bagi yang melakukan pembakaran hutan, pencabutan ijin usaha bagi perusahaan yang melanggar, mengerahkan pasukan TNI untuk pemadaman kebakaran, inovasi teknologi mutakhir yang salah satunya adalah hujan buatan, dan sebagainya.
Kita patut menghargai upaya pemerintah hingga saat ini. Namun mengapa sampai detik ini belum juga terselesaikan? Apabila pemerintah bisa lebih tegas dalam menghadapi para perusak hutan terutama para korporasi raksasa itu tentu masalah ini bukan lagi menjadi bencana musiman. Para korporasi tersebut telah mengiming-imingi pejabat daerah untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka (BBC Indonesia, 25/9/2015). Bahkan mereka enggan mengumumkan nama-nama perusahaan yang terlibat dalam kasus ini (liputan6.com).
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah kita dalam hal ini. Sistem pemerintahan lah yang membentuk atmosfer budaya kurang tegas dalam negara kita. Aturan yang bisa diutak-atik, sistem otonomi daerah yang kurang pengawasan, membuat semuanya bablas dari kontrol. Ideologi yang menjadi dasar untuk membentuk sebuah sistem. Artinya pemasalahan ini dan termasuk berbagai permasalahan pelik yang ada di Indonesia sebenarnya hanya perlu satu langkah saja, yaitu memperbaiki ideologi yang menjadi landasan.